Benarkah
Aku Bukan Anak Kandung Orang Tuaku?
Aku terbangun dari tidurku
siang ini. Kudengar ada suara percakapan beberapa orang di teras rumah.
Kebetulan kamarku berada tepat di samping teras, yaitu di rumah bagian depan.
Aku sudah puas tidur siang ini, karena aku tidur sejak pulang sekolah.
Kulangkahkan kakiku keluar
dari kamar, pergi ke teras untuk mencari tahu siapa yang sedang bercakap-cakap.
Kulihat ibuku sedang mengobrol dengan ibu-ibu kompleks.
“Ehhh… anak mama sudah
bangun. Sini Intan, cium Mama,” kata Bu Tina, tetanggaku yang rumahnya beberapa
blok dari rumahku.
Aku mendengus kesal.
Lagi-lagi tetanggaku ini meledekku sebagai anaknya. Aku bete jika dia
memanggilku sebagai anaknya. Sebel. Daripada aku dipanggil-panggil sebagai
anaknya lagi, mending aku ke dapur cari makanan.
Masakan Ibu selalu
membuatku lapar. Segera kulahap masakan Ibu yang ada di meja makan. Ibu memang
pintar memasak. Makanan yang dibuat oleh Ibu selalu terasa sedap di lidahku.
Mulai dari sayur-mayur, lauk-pauk, hingga makanan kecil, Ibu pandai membuatnya.
Ini yang membuatku, kakak-kakakku, dan Ayah betah makan di rumah.
Hmmm, berbicara soal
kakak-kakakku, aku jadi kembali teringat tentang tetanggaku yang menganggapku
sebagai anaknya. Dua orang kakak laki-lakiku memang selalu ikut meledekku.
Mereka bilang bahwa sebenarnya ibu kandungku adalah Bu Tina.
“Intan, kamu itu sebenarnya
anaknya Bu Tina. Tuh lihat, rambutmu sama seperti rambutnya Bu Tina. Keriting,”
ledek kakak keduaku.
“Enggak, ya, Kak. Aku anak
kandungnya Ibu. Aku cantik, sama seperti Ibu. Iya, kan, Kak?” ujarku pada kakak
pertamaku.
Aku yang mencari pembelaan
kepada kakak pertamaku, ternyata jawaban kakak pertamaku tidak seperti yang
kuharapkan.
“Ehh jangan salah, Dek. Itu
Bu Tina juga cantik. Bisa jadi kamu anaknya Bu Tina,” ujarnya sambil tersenyum
meledek.
“Iya, Dek. Kamu itu anaknya
Bu Tina. Rambutnya sama. Keriting. Kalau rambut Ibu, kan, lurus. Rambut ayah
juga. Rambut kakak berdua juga lurus, enggak ada yang keriting kayak kamu.
Hayooo….” Kakak keduaku menyerangku tajam. Tertawa. Kalau sudah begini, paling
aku mengadu pada Ibu dan Ayah. Dan mereka hanya tersenyum melihat kami.
Memang, sih, kalau
diperhatikan banyak perbedaan antara aku dan keluargaku. Kedua orang tuaku berambut
lurus. Kedua kakakku berambut lurus namun sedikit ikal. Tapi aku? Rambutku
keriting. Karena rambutku panjang, rambutku harus selalu kuikat. Kalau tidak,
bisa-bisa rambutku berubah menjadi rambut singa dan kedua kakakku akan semakin
meledekku. Kalau tentang warna kulit, ayah dan kakak pertamaku berkulit gelap.
Ibu berkulit terang, sama seperti kakak keduaku. Sedangkan kulitku tidak
terlalu gelap namun tidak terlalu terang. Aduuuhh mak, kenapa ada begitu banyak
perbedaan antara aku dan mereka?
Malam ini aku dan
keluargaku menonton televisi. Hari semakin malam. Aku dan kakak-kakakku mulai
mengantuk. Kedua kakakku beranjak ke kamar terlebih dahulu. Ya, aku dan kedua
kakak laki-lakiku tidur dalam satu kamar. Kata ayah dan ibu tidak papa kami
bertiga tidur dalam kamar yang sama pada ranjang yang sama, meskipun aku wanita
dan kedua kakakku laki-laki, karena kami masih kecil. Selain itu, tidur bertiga
dengan kedua kakakku ini adalah latihan untuk belajar tidur mandiri tanpa orang
tua di samping kami. Sehingga kami bertiga bisa saling menguatkan dan pada
akhirnya masing-masing dari kami berani tidur sendiri. Orang tuaku memang
cerdas.
Aku yang sudah terlelap di
depan televisi akhirnya digendong ibu untuk dipindahkan ke tempat tidur. Aku
terbangun ketika ibu menggendongku, tanpa ibu menyadarinya. Aku dibaringkan di
samping kedua kakakku yang sudah tertidur pulas. Kemudian ibu mencium keningku
sebagai ucapan selamat tidur.
“Ibu…,” panggilku sebelum
ibu beranjak meninggalkanku.
“Ya, sayang? Kok Intan bangun lagi?” tanya Ibu.
“Ibu, Intan boleh tanya?” tanyaku lirih.
“Boleh sayang. Emang Intan mau tanya apa?”
“Bu, apa benar Intan anaknya Bu Tina?” tanyaku sambil menahan tangis.
“Ya, sayang? Kok Intan bangun lagi?” tanya Ibu.
“Ibu, Intan boleh tanya?” tanyaku lirih.
“Boleh sayang. Emang Intan mau tanya apa?”
“Bu, apa benar Intan anaknya Bu Tina?” tanyaku sambil menahan tangis.
Ibu terdiam mendengar
pertanyaanku. Beliau berpikir sejenak, seolah-olah menyimpan seribu kata yang
tak mampu terucap. Jantungku berdetak kencang menanti kata-kata yang akan
keluar dari bibir Ibu.
“Intan kata siapa?” tanya
Ibu datar, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk dalam pikirannya.
“Bu Tina sendiri yang
bilang. Dia bilang kalau Intan adalah anaknya. Tetangga-tetangga juga banyak
yang bilang begitu. Kakak-kakak juga bilangnya begitu. Bahkan ibu juga pernah
bilang begitu juga. Intan ini anak siapa, Bu?” kataku terbata-bata.
Sangat sulit mengucapkan
kalimat-kalimat itu. Aku yang biasa tegar, kini tak mampu membendung tangis.
Aku sesenggukan di depan ibu yang terdiam tanpa kata.
“Sini Ibu certain, Sayang,”
kata Ibu sambil meraihku dalam dekapannya, seolah-olah tak ingin kehilangan
aku. Aku semakin deg-degan dengan tingkah Ibu. Wah, jangan-jangan aku benar
anaknya Bu Tina. Kalau itu benar, berarti aku bukan anak kandung Ibu dan Ayah,
orang tua yang selama ini kukenal. Lalu bagaimana dengan kedua kakakku? Berarti
aku bukan adik kandung mereka? Oh Tuhan…
“Intan,” suara Ibu
mengagetkanku, mengembalikan pikiranku yang sedang terbang.
“Tntan dengerin Ibu, ya.”
“Iya, Bu.. Ceritakan, Bu,” kataku penuh harap. Berharap apa yang aku pikirkan tadi tidaklah benar.
“Tntan dengerin Ibu, ya.”
“Iya, Bu.. Ceritakan, Bu,” kataku penuh harap. Berharap apa yang aku pikirkan tadi tidaklah benar.
“Bu Tina dulu punya anak
perempuan. Yah, seumuran dengan Intan sekarang ini. Namanya Sinta. Sinta cantik
seperti Intan. Rambutnya juga keriting seperti Intan. Warna kulitnya sama
seperti warna kulit Intan. Pokoknya semua yang ada di dalam diri Sinta, ada di
dalam diri Intan. Jadi, Sinta mirip sekali dengan Intan. Namun sayang, tujuh
tahun lalu Sinta sakit. Sakitnya sangat parah. Bu Tina dan suaminya sudah
berusaha untuk menyembuhkan Sinta. Dokter manapun sudah didatangi. Berbagai
pengobatan mulai dari pengobatan rumah sakit hingga pengobatan alternatif sudah
dijalani. Namun semua itu tidak bisa membuat Sinta kembali seperti dahulu.
Semua pengobatan itu tidak bisa mengembalikan Sinta seperti dulu, menjadi anak
yang sehat dan ceria. Sampai pada akhirnya, Allah berkata lain. Sinta meninggal
dalam usahanya untuk sembuh. Bu Tina sangat terpukul. Namun, lama-kelamaan ia
bisa menerima semuanya.”
Ibu menghentikan ceritanya.
Beliau menatapku sambil berkaca-kaca.
“Lalu beberapa tahun
kemudian, Intan mulai tumbuh besar. Intan tumbuh menjadi anak yang cantik dan
ceria. Rupanya Intan mirip sekali dengan Sinta. Bu Tina menyadari hal itu. Ia
yang sebelumnya sudah mulai bisa mengobati rasa sedihnya kehilangan putri
tercintanya, ketika melihat Intan ia kembali teringat putrinya itu. Sehingga Bu
Tina sering berlama-lama melihat Intan. Mungkin itu untuk mengobati rasa rindu
pada anaknya yang telah lama meninggal. Makanya Bu Intan sering meledek Intan
bahwa Intan adalah anaknya. Nah, begitulah ceritanya mengapa Bu Tina menganggap
Intan sebagai anaknya. Jadi Intan tidak perlu bersedih. Intan adalah anak
kandung Ayah dan Ibu,” kata ibu sambil memelukku erat. Aku menangis sesengukan
dalam pelukan Ibu.
Alhamdulillah, ternyata aku
benar-benar anak Ayah dan Ibu. Berarti ledekannya Bu Tina, tetangga-tetanggaku,
serta kedua kakakku tidaklah benar. Mungkin itu adalah wujud kasih sayang
mereka terhadapku. Pikirku dalam hati. Eitt, tunggu dulu. Aku teringat sesuatu.
“Ibu, terus kenapa rambut
dan warna kulitku berbeda dengan ayah, ibu, dan kakak-kakak?” tanyaku bingung.
Ibu tertawa. Aduh kenapa ibu tertawa?
Ibu tertawa. Aduh kenapa ibu tertawa?
“Hahaha… Jadi begini intan,
rambut Intan keriting, memang berbeda dengan rambut Ibu. Namun rambut Intan
sama dengan rambut ayah. Dulu rambut ayah juga keriting seperti Intan, sebelum
akhirnya botak seperti sekarang. Nah, rambut ayah yang masih tersisa, pada
akhirnya menjadi lurus. Kalau rambut kedua kakak Intan, tadinya juga keriting
seperti rambut Intan. Tapi lama-kelamaan berkurang keritingnya, mungkin karena
rambut kakak sering dipotong, kan mereka laki-laki. Sedangkan rambut Intan kan
jarang dipotong, namun dibiarkan memanjang. Jadi ya tetap keriting. Nah, kalau
untuk kulit, kulit Intan mungkin tidak segelap kulit ayah dan tidak seterang
kulit Ibu, namun itu berarti Intan adalah hasil percampuran ibu dan ayah dengan
perbandingan yang seimbang. Hehehe,” jelas Ibu panjang lebar.
Ibu kembali tertawa. Aku
melongo. Akhirnya aku pun ikut tertawa bersama ibu. Bodohnya aku. Mengapa
selama ini semua itu tidak terpikirkan olehku. Yang aku pikirkan hanyalah
kekesalanku pada Bu Tina, tetangga-tetanggaku, dan kedua kakakku,
ketidakpuasanku mengapa aku berbeda dengan keluargaku, serta ketakutanku bahwa
aku bukanlah anak kandung di keluarga ini.
Aku lega sekali. Ternyata aku benar-benar anak kandung orangtuaku. Artinya, aku juga adalah adik kandung kedua kakakku.
Aku lega sekali. Ternyata aku benar-benar anak kandung orangtuaku. Artinya, aku juga adalah adik kandung kedua kakakku.
Meskipun mereka berdua
sering iseng kepadaku, aku tetap sayang kepada mereka. Bahkan kini rasa
sayangku semakin bertambah, juga rasa sayangku kepada kedua orangtuaku. Dan
untuk bu Tina, aku tahu beliau pasti merasa sangat kehilangan Sinta, putri yang
sangat disayanginya. Dengan melihatku, itu akan sedikit mengobati rasa rindunya
pada putrinya itu. Dan aku bertekad untuk menghiburnya. Senyumku terkembang
membayangkan indahnya hidupku yang dikelilingi orang-orang yang menyayangiku.